KARYA SASTRA PUISI
MAKALAH
ILMU BUDAYA DASAR
MAKALAH
ILMU BUDAYA DASAR
"Karya Sastra Puisi"
Dosen : Auliya R
Dosen : Auliya R
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
Nama : Khairunnisa F.A
Kelas : 1 KA 01
NPM : 15114846
Jurusan : Sistem Informasi
Fakultas : Ilmu Komputer
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Fakultas : Ilmu Komputer
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sastra pada dasarnya merupakan
ciptaan.sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi. Karya sastra sebagai
bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif pada hakikatnya adalah suatu media
yang mendayagunakan bahasa uuntuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia.oleh
sebab itu sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi
kehidupan manusia kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan
dari manusia untuk mengungkapkan eksitensinya.
Puisi
adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu
yangkosong tanpa makna. Mengapa dikatakan demikian? Puisi selalu bermakna.
Sebab puisi ditulisdari pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam
bahasa berirama. LynnAlternbernd dan Leslie L. Lewis dalam buku A Handbook for
Study of Poetry (1970) menyatakanhal itu. Bahasa berirama yang diungkapkan
tersebut menandai perbedaan antara bentuk karyapuisi dan prosa. Puisi itu
karangan yang terikat oleh aturan-aturan ketat.
Prosa
adalah karanganbebas yang tidak diatur secara ketat. Apakah hal itu masih
dijadikan ukuran perbedaan antarapuisi dan prosa sekarang ini? Sebab, banyak
kita jumpai berbagai bentuk puisi yang disebut dengan puisi bebas dan
sebagainya.Jika kita cermati dan mengerti hakikat puisi, bentuk puisi yang ada
adalah tidak dapat dikatakanbebas. Puisi mempunyai aturan sendiri yang membentuknya
sehingga apa yang ditulis dapat dikatakan sebagai puisi. Apakah hakikat
puisi itu? Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya, misalnya
puisi itu terikat oleh bentuk yang diukur dari banyak baris dalam tiap
bait,banyak kata dalam tiap baris, atau banyak suku kata dalam tiap baris.
Hakikat puisi ialah apayang menyebabkan sebuah tulisan disebut puisi.Terdapat
tiga aspek untuk memahami hakikat puisi. Pertama fungsi estetik, kedua
kepadatan,dan ketiga ekspresi tidak langsung.Fungsi estetik mencakupi
persajakan, diksi (pilihan kata),irama, dan gaya bahasanya. Puisi disebut
sebagai karya seni yang puitis. Kepuitisan dapat dicapai dengan
bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan
bait,bunyi, persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, bahasa
kiasan, dan diksi.Dalam puisi kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan,
kata-kata dalam puisi itu lahir dandilahirkan kembali pada waktu penciptaannya.Kepadatan yang dimaksud adalah saat
penulispuisi membuat karya dengan melakukan pemadatan informasi yang terkandung
dalam pikiranatau pengalaman yang akan dikemukakan.
Dalam
puisi tidak semua pikiran, cerita, ataupengalaman itu dituliskan. Terdapat
penkristalan kalimat yang akan dikatakan mungkinmenjadi sebuah kata atau frasa.
Hal yang dikemukakan di dalam puisi adalah inti masalah,cerita, atau peristiwa.
Hanya esensi yang disampaikan dalam puisi. Oleh karena itu, puisimerupakan
ekspresi esensi. Penulis puisi memampatkan dan memadatkan apa yang
akandikemukakannya dengan memilih kata secara akurat, cermat, dan sesuai
maknanya. Untuk pemadatan ini, kadang-kadang kata-kata hanya diambil inti
dasarnya. Imbuhan, awalan, danakhiran sering dihilangkan. Dengan demikian,
hubungan antarkalimat bersifat implisit, tidak dinyatakan secara jelas dan
merenik. Oleh karena kepadatannya, puisi bersifat sugestif danasosiatif. Aspek
yang ketiga adalah ekspresi yang tidak langsung. Dari waktu ke waktu puisiitu
selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh wawasan kehidupan terus
berkembang danhal ini menyebabkan perubahan pada konsep estetik di dalam
kehidupan yang ditulis menjadipuisi. Hal yang tidak pernah berubah ialah bahwa
puisi mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Ungkapan tidak langsung
itu ialah menyatakan sesuatu hal dengan cara yang lain.Ketaklangsungan ekspresi
menurut Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry (1978)
disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan
arti.Menulis puisi itu gampang-gampang susah.
Pemahaman
tentang hakikat puisi perlu dikuasaisebelum kita menulisnya. Bahan penulisan
berkelindan di sekitar kita dan kita setidaknyapaham dulu maknanya baru kita
tuliskan dengan kata-kata yang juga telah kita ketahuimaknanya. Kaidah
penulisan karya puisi juga mengacu pada kaidah penulisan pada umumnyauntuk
tanda baca dan penulisan kata. Semakin kita cermat dalam memahami hakikat puisi
danperalatannya semakin karya kita bermanfaat.
1.2. Rumusan
Masalah
·
Bagaimana sejarah puisi?
· Apa ciri-ciri
puisi?
· Bagaimana
contoh puisi serta kandungannya?
1.3. Tujuan Penilitian
Agar pengetahuan tentang karya
sastra semakin luas dan kita dapat mengetahui tentang sejarah sastra puisi di Indonesia. Dari hasil laporan
penilitian kami pun kita dapat memperoleh manfaat berupa pengetahuan tentang
karya sastra puisi yang sangat memiliki makna makna estetika.
BAB II
TINJAUAN
TEORI
2.1
Sejarah puisi
Puisi
adalah karya tulis yang sangat indah yang pernah ada. Siapapun orangnya yang
membaca puisi akan merasa tajub dan kagum melihat isi atau makna dari puisi
yang terkandung. Puisi secara umum
terdiri dari 6 unsur, yaitu: tema, imajinasi, amanat, nada, suasana, dan
perasaan. Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis
yang artinya berarti penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini
adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter
(dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang
berarti membuat atau mencipta.
Puisi sebagai bentuk seni dapat mendahului
melek. Banyak karya kuno, dari Veda India (1700-1200 SM) dan Zoroaster's Gathas
(1.200-900 SM) ke Odyssey (800-675 SM), tampaknya
telah disusun dalam bentuk puisi untuk membantu menghafal dan lisan, dalam
prasejarah dan masyarakat kuno. Puisi muncul di antara catatan-catatan paling
awal kebudayaan paling melek huruf, dengan puitis fragmen-fragmen yang
ditemukan pada awal monolit, runestones, dan stelae.
Puisi adalah kasusteraan yang paling tua. Sejak dahulu, berpuisi adalah cara kuno dalam masyarakat, atau pada waktu tersebut di sebut mantra. Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi nembang Jawa, lirik puisi yang dilagukan. Biasanya, nembang didendangkan pada acara-acara sakral dan penting, seperti acara mitoni, siraman, dan pesta desa lainnya. Selain lirik puisi yang ditembangkan, juga bisa menggunakan kisah cerita, seperti kisah Raden Panji, Dewi Nawang Wulan, Jaka Tingkir, dan lainnya.
Puisi adalah kasusteraan yang paling tua. Sejak dahulu, berpuisi adalah cara kuno dalam masyarakat, atau pada waktu tersebut di sebut mantra. Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi nembang Jawa, lirik puisi yang dilagukan. Biasanya, nembang didendangkan pada acara-acara sakral dan penting, seperti acara mitoni, siraman, dan pesta desa lainnya. Selain lirik puisi yang ditembangkan, juga bisa menggunakan kisah cerita, seperti kisah Raden Panji, Dewi Nawang Wulan, Jaka Tingkir, dan lainnya.
Puisi tidak hanya dilagukan untuk mengisahkan cerita,
namun, puisi juga dapat dijadikan dialog-dialog dalam pementasan ludruk, ketoprak,
drama tradisional Jawa, atau orang Sumatra Barat menyebutnya Randai. Puisi tak
hanya indah kata-katanya, melainkan juga isinya yang mengandung petuah,
nasihat, dan pesan untuk pendengar.
Dalam
perkembangan puisi di Indonesia, dikenal dengan berbagai jenis tipografi da
model puisi yang menunjukkan perkembangan struktur puisi tersebut. Ciri
struktur puisi dari jaman ke jaman tidak hanya ditandai dengan struktur fisik,
tetapi juga oleh struktur makna atau tematiknya.
Berikut perkembangan puisi di Indonesia, mulai dari
angkatan balai pustaka, hingga puisi jaman sekarang.
1.
Balai Pustaka
Pada angkatan ini, puisi masih berupa mantra, pantun, dan
syair, yang merupakan puisi terikat.
- Mantra, jenis puisi tertua yang
terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia. Kumpulan pilihan
kata-kata yang dianggap gaib dan digunakan manusia untuk memohon sesuatu dari
Tuhan. sehingga mantra tidak hanya memiliki kekuatan kata melainkan juga
kekuatan batin.
- Pantun dan Syair, puisi lama yang
struktur tematik atau struktur makna dikemukkan menurut aturan jenis pantun
atau syair, dalam hal ini, pantun dan syair masih berupa puisi terikat.
2.
Pujangga Baru (1933-1945)
Jika pada angkatan balai pustaka penulisan puisi masih
banyak dipengaruhi oleh puisi lama, maka pada angkatan Pujangga Baru diciptakan
puisi baru, yang melepaskan ikatan-ikatan puisi lama. Sehingga munculnya
jenis-jenis puisi baru, yaitu : distichon (2 baris), tersina (3 baris),
quartrin (4 baris), quint (5 baris), sextet (6 baris), septima (7 baris), oktaf
(8 baris), soneta (14 baris).
Dalam periode
ini terdapat beberapa julukan untuk penyair Indonesia, seperti Amir Hamzah
sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan ia disebut oleh H.B. Jassin sebagai
Penyair Dewa Irama. J.E. Tatengkeng disebut sebagai Penyair Api Naionalisme,
dan sebagainya.
Para penyair yang dapat dikategorikan msuk dalam periode
Pujangga Baru adalah :
- Amir
Hamzah, “Nyanyi Sunyi” / 1937 dan “Buah Rindu” /1941
- Sutan
Takdir Alisyahbana, “Tebaran Mega” / 1936
- Armijn
Pane, “Jiwa Berjiwa” / 1939, “Gamelan Jiwa” / 1960
- Jan Engel
Tatengkeng “Rindu Dendam” / 1934
- Asmara
Hadi, “Api Nasionalisme”
- Dll.
3.
Angkatan 45 (1945-1953)
Jika pada periode sebelumnya melakukan pembaharuan terhadap
bentuk puisi, pada periode ini dilakukan perubahan menyeluruh. Bentuk puisi
soneta, tersina, dan sebagainya tidak dipergunakan lagi. Dasar angkatan 45 ini adalah adanya
‘Surat Keperecayaan Gelanggang’, yang berbunyi :
Kami
adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan
pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru
yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan
kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang
hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh
apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami
tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat
akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,
tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan
Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang
disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami
akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya
pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi
bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus
dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam
penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah
manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat
sendiri.
Penghargaan
kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang
mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Angkatan
45 memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
puisi memiliki
struktur bebas
2.
kebanyakan
beraliran ekspresionisme dan realisme
3.
diksi
mengungkapkan pengalaman batin penyair
4.
menggunakan bahasa sehari-hari
5.
banyak puisi bergaya sinisme dan ironi
6.
dikemukakan
permasalahan kemasyarakatan, dan kemanusiaan
Penyair yang dapat diktegorikan pada periode ini adalah
sebagai berikut :
- Chairil Anwar Krikil
Tajam / 1949, Deru Campur Debu /
1949, Tiga Menguak Takdir / 1950
- Sitor Situmorang, Surat Kertas Hijau / 1954, Dalam Sajak / 1955, Wajah Tak Bernama / 1956, Zaman
Baru / 1962
- Harjadi S. Hartowardojo, Luka Bayang / 1964
- Dll.
4.
Periode 1953-1961
Jika
pada angkatan 45 yang menyuarakan kemerdekaan, semangat perjuangan dan
patriotisme, maka pada periode ini membicarakan masalah kemasyarakatan yang
menyangkut warna kedaerahan. Sifat revolusioner yang berapi-api, mulai merada. Mulai
banyaknya puisi beraliran romantik dan kedaerahan dengan gaya penceritaan
balada. Puisi pada periode ini banyak yang mengungkapkan subkultur, suasana
muram, masalah sosial, cerita rakyat dan mitos (Atmo Karpo, Paman Ddoblang, dan
sebagainya).
Cirri
yang menonjol pada periode ini adalah munculnya politik dalam sastra, sehingga
lahirnya LKN, LEKRA, LESBUMI, LKK, dan sebagainya.
Ciri
khas puisi pada periode ini adalah :
1.
Bergaya epic (bercerita)
2.
Gaya mantra mulai dimasukkan dalam balada
3.
Gaya repetisi dan retorik semakin berkembang
4.
Banyak digambarkan suasana muram penuh derita
5.
Menerapkan masalah social, kemiskinan
6.
Dasar penciptaan balaa dari dongeng kepercayaan
Para penyair yang dapat digolongkan dalam periode ini
adalah :
- Willibrordus Surendra (W.S Rendra) Empat Kumpulan Sajak / 1961, Balada
Orang-Orang Tercinta / 1957
-
Ramadhan Karta Hadimaja, Priangan Si Jelita / 1958
- Toto
Sudarto Bachtiar, Suara / 1956
- Dll.
5.
Angkatan 66 (1963-1970)
Masa ini didominasi oleh sajak demonstrasi atau sajak
protes yang dibaca untuk mengobarkan semangat para pemuda dalam aksi
demonstrasi, seperti pada tahun 1966 ketika sedang terjadi demonstrasi para
pelajar dan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Lama. Penyair seperti Taufiq
Ismail dan Rendra, membacakan sajak protes mereka didepan para pemuda.
Untuk mengobarkan semangat aktivitas kreatis angkatan 66,
mulai munculah fasilitas-fasilitas sastra. Fasilitas tersebut antara lain,
munculnya majalah Horison (1966), Budaja Djaja (1968, dan dibangunnya Taman
Isail Maruki (TIM), yang menjadi pusat kebudayaan.
Pada periode ini berkembang dua aliran besar puisi.
Aliran pertama adalah aliran neo-romantisme yang menegaskan sepi sebagai
perlawanan yang bersifat metafisis, atas dunia. Penyair yang menganut aliran
ini adalah Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Darmono, dan Abdul Hadu W.M.
Aliran yang kedua adalah aliran intelektualisme, aliran
yang menekankan pada pengamatan kritis tentang dunia dan pengalaman pribadi.
Penyair yang yang beraliran intelektualisme adalah Subagio Sastrowardoyo dan
Toety Heraty.
Berikut penyair yang termasuk dalam angkatan 66 :
-
Taufiq Ismail, Tirani / 1966, Benteng / 1966
-
Sapardi Djoko Darmono, Dukamu Abadi /
1969, Mata Pisau / 1974
-
Linus Surjadi A.G., Pengakuan Pariyem /
1981
-
Dll.
6.
Puisi Kontemporer (1970 – sekarang)
Pada periode ini puisi disebut puisi kontemporer, puisi
yang muncul pada masa kini dengan bentuk dan gaya yang tidak mengikuti kaidah
puisi pada umumnya, dan memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya.
Dalam puisi kontemporer, salah satu yang penting adalah adanya eksplorasi
sejumlah kemungkinan baru, antara lain penjungkirbalikan kata-kata baru dan
penciptaan idiom-idiom baru.
Pada puisi kontemporer bertema protes, humanisme,
religius, perjuangan, dan kritik sosial. Puisi kontemporer bergaya seperti
mantra, menggunakan majas, bertipografi baru dengan banyak asosiasi bunyi,dan
banyaknya penggunaan kata dari bahasa daerah yang menunjukkan kedaerahaannya.
Dalam dunia perpuisisan kontemporer, Sutardji
mengebangakan puisi-puisi baru, dan mengiprovisasi puisinya. Hal ini terlihat
pada sajak Sutardji ‘O, Amuk, Kapak’.
Yang termasuk penyair kontemporer adalah :
-
Sutardji Colzoum Bahri, O, Amuk, Kapak
, Tragedi Winka Sihka, Batu
- Emha
Ainun Najib, ‘M’ Frustrasi / 1976, Nyanyian Gelandangan / 1981
- Sapardi
Djoko Darmono, Dukamu Abadi / 1969, Mata Pisau / 1974
- Dll.
2.2 Ciri-ciri puisi
Ciri ciri puisi pada kesempatan kali
ini akan saya bagi menjadi 2 yaitu puisi lama dan juga puisi baru. Berikut
pembahasannya
Ciri-ciri
Puisi Lama:
1.
Pengarangnya tidak diketahui
2. Merupakan kesusastraan lisan
3. Terikat jumlah baris, rima, dan irama
4. Gaya bahasa yang statis (tetap) dan juga klise
5. Isi dari puisi tentang fantastis dan istanasentris
2. Merupakan kesusastraan lisan
3. Terikat jumlah baris, rima, dan irama
4. Gaya bahasa yang statis (tetap) dan juga klise
5. Isi dari puisi tentang fantastis dan istanasentris
Ciri-ciri
Puisi Baru:
1. Pengarangnya diketahui
2. Berkembang secara lisan dan tertulis
3. Tidak terikat jumlah baris, rima,
dan irama
4. Gaya bahasa yang dinamis
(berubah-ubah)
5. Isinya tentang kehidupan pada umumnya
2.3 Contoh Puisi dan maknanya
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Makna Setiap Bait Puisi "Hujan Bulan Juni"
Bait Pertama
Tak
ada yang lebih tabah
Dari
hujan bulan juni
Dirahasiakannya
rintik rindunya
Kepada
pohon berbunga itu
Makna
:
Menggambarkan seseorang yang dengan tabahnya menanti seseorang yang ia cintai. Ia memuji penantianya tidak ada yang lebih tabah dari penantiannya. Di bait pertama ini juga menggambarkan bahwa ia menyembunyikan rasa rindunya kepada seseorang yang indah yang ia cintai. Pohon berbunga itu diartikan sebagai seseorang yang indah yang dinanti.
Menggambarkan seseorang yang dengan tabahnya menanti seseorang yang ia cintai. Ia memuji penantianya tidak ada yang lebih tabah dari penantiannya. Di bait pertama ini juga menggambarkan bahwa ia menyembunyikan rasa rindunya kepada seseorang yang indah yang ia cintai. Pohon berbunga itu diartikan sebagai seseorang yang indah yang dinanti.
Bait Kedua
Tak
ada yang lebih bijak
Dari
hujan bulan juni
Dihapusnya
jejak-jejak kakinya
Yang
ragu-ragu di jalan itu
Makna
:
Menggambarkan penantian seseorang tersebut sangat bijak dan tak ada yang melebihi kebijakan penantiannya. Ia pun menghapus segala keraguannya dalam menanti dan mencintai seseorang tersebut.
Menggambarkan penantian seseorang tersebut sangat bijak dan tak ada yang melebihi kebijakan penantiannya. Ia pun menghapus segala keraguannya dalam menanti dan mencintai seseorang tersebut.
Bait Ketiga
Tak
ada yang lebih arif
Dari
hujan bulan juni
Dibiarkannya
yang tak terucapkan
Diserap
akar pohon bunga itu
Makna :
Menggambarkan pemujian kembali terhadap penantiannya. Ia mengatakan kembali bahwa tidak ada yang lebih arif dari panantiannya. Di bait ketiga pula digambarkan bahwa pada akhirnya penantiannya berbuah hasil manis. Cintanya diterima oleh seseorang yang ia cintai, dapat dilihat dari kalimat diserap akar pohon bunga itu. Dan ia membiarkan tidak terucap segala apa yang ia rasakan selama penantian.
Makna Keseluruhan atau Abstraksi Puisi "Hujan Bulan Juni"
Puisi
"Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan tentang
penantian seseorang kepada seseorang yang dinantinya. Dengan sangat tabah,
bijak, dan arif ia menanti. Dengan merahasiakan segala rindunya, menghapus
segala keraguannya dalam menanti. Akhirnya penantiannya berbuah manis. Ia
mendapatkan seseorang yang dinantinya tersebut. Karena begitu tulusnya perasaan
seseorang tersebut ia membiarkan tak terucapkan segala apa yang ia rasa selama
menanti. Suatu pesan yang tersirat setelah memaknai puisi "Hujan Bulan
Juni" adalah bahwa :
"Sesungguhnya kekuatan cinta itu nyata"
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Puisi adalah ungkapan perasaan atau pikiran penyairnya yang
dirangkai menjadi suatu bentuk tulisan yang mengandung makna.
Puisi juga bisa diartikan sebagai sebuah imajinasi kata yang didapat dari sebuah pengalaman atau dari sebuah gagasan, dan di susun menggunakan pilihan kata atau bahasa yang berirama dan mengutamakan kualitas estetikanya.
Puisi juga bisa diartikan sebagai sebuah imajinasi kata yang didapat dari sebuah pengalaman atau dari sebuah gagasan, dan di susun menggunakan pilihan kata atau bahasa yang berirama dan mengutamakan kualitas estetikanya.
3.2
Saran
Pembaca diharapkan mampu untuk melestarikan kebudayaan sastra
asli Indonesia seperti puisi ini. Masyarakat Indonesia seharusnya juga
bersemangat dalam melestarikan dan meningkatkan lagi karya-karya sastra yang
berestetika dan memiliki arti dan nilai-nilai untuk kehidupan bermasyarakat.
Daftar Pustaka
-
Susastra 6 Jurnal Ilmu Sastra Dan
Budaya, Volume 3, Nomor 6, 2007, HISKI
-
Unmanradieta.blogspot.com